“Ter-istimewa untuk JO”
“Nara!! Bangun sayang ! “ suara mama yang bervibra itu sukses membangunkanku di pagi – pagi buta. Yah, aku langsung melompat dari kasur kesayanganku, dan bergegas untuk cepat – cepat mandi dan menyiapkan barang – barangku. Aku tak mau melewatkan hari menyenangkan ini. “I’m ready now” bisikku dengan senang dari dalam hati seraya berlenggak – lenggok di depan cermin besar di kamarku, memastikan tidak ada yang kurang dalam dandananku. Segera ku angkat koperku dan turun ke lantai bawah. Di bawah semua keluargaku telah siap. Hari ini kami sekeluarga akan berlibur ke luar kota. Balikpapan adalah tujuan liburanku kali ini. Tak lupa aku membawa kamera kesayanganku, si Cassey. Kamera Canon, hadiah ulang tahun dari kakakku tersayang. Aku semangat sekali!
Perjalanan pun di mulai, setelah semua koper dinaikkan ke bagasi mobil. Kali ini kami membawa dua mobil. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 4 setengah jam dari rumahku, yang masih berada satu provinsi dengan kota tujuanku. Deretan pohon – pohon yang rindang dan jalanan yang bergunung membuat pemandangan saat itu begitu indah. Kebahagiaanku memuncak saat mobil sedan merah berjalan lambat melewati pantai yang sangatlah indah. Pantai Manggar namanya. Dimana aku pernah bertemu dengan dua orang spesial di pantai itu. Michael dan Jo. Air mata pun tak bisa di bendung lagi, perlahan dan perlahan air mataku menetes di pipiku. Namun segera ku usap dengan syal yang melingkar di leherku. Dan seketika aku teringat akan sebuah gelang hitam dan merah yang tak pernah ku pakai lagi. Aku merogoh kantong celanaku, dan mendapati gelang itu. Cukup lama aku tak memakai gelang itu dengan suatu alasan yang tak pasti.
Perjalanan panjang terhenti ketika dua mobil berhenti di depan pagar tinggi berwarna cokelat keemasan. Dimana seorang laki – laki paruh baya membuka pagar itu. Di sambut dengan dua orang perempuan yang membawa koper kami. Sebenarnya koperku tidaklah berat. “Gak usah non Nara, biar mbak aja yang bawa” kata Mbak Evi saat melihat aku membawa koperku sendiri. Akan sangat kelewatan kalau aku membiarkan Mbak Evi membawa koperku yang tidak berat sama sekali. Dan Mbak Evi pun mengalah, ia membiarkan aku membawa koperku sendiri. Saat kakiku melangkah dan kemudian menginjakkan kaki tepat di atas teras rumahku, sesuatu terasa berat dalam hatiku. Jantungku mulai berdegup kencang. “Something will happen here, i believe that” bisikku dalam hati. Berfikir akan tertadi sesuatu, cepat atau lambat.
Suasana berbeda kurasakan saat papa, mama, kakak – kakak dan adik kecilku bersama denganku di rumah yang satu ini. Kehangatan keluarga aku rasakan setelah lama ini semua sibuk dengan pekerjaannya. Papa yang hampir setiap saat lembur bekerja. Canda tawa di iringi tangisan Merry dan Glad, si kembar yang baru beranjak satu tahun ini.
Perlu seluruh tenaga untuk melahirkan mereka berdua ke dunia, mengingat kondisi kakak iparku yang sangat kelelahan saat melahirkan mereka berdua.
Itulah alasan mengapa aku ikut memberi mereka nama, Merry dan Glad, karena mereka membawa kebahagiaan buat keluargaku. Terutama mamaku yang pengen sekali menggendong adik bayi. Saat sedang asik bercanda, terdengar bisik yang mengarah ke telingaku “apa mata kakak yang salah lihat atau memang tadi ada yang menangis di mobil?” suaranya begitu halus namun jelas terdengar oleh telingaku. Mataku mulai berkaca – kaca mengingat hal tadi sewaktu melewati Pantai Manggar. “Tak apa kak” balasaku dengan nada lirih. Saat hendak meninggalkan keluargaku di ruang tamu, belum sempat aku mengangkat seluruh badanku dari atas sofa, sebuah tangan yang halus mencengkram tanganku, seakan ingin menanyakan kemana aku mau pergi. “Aku butuh istirahat sebentar kak, aku akan ke atas” bisikku pelan kepada kakakku yang mencengkram tanganku. Cengkraman itu dilepaskan dan aku beranjak pergi ke kamarku. “Mau kemana dek?” tanya Nika kakakku yang perempuan. “Dia butuh istirahat Nik, biarin dia tidur” jawab David kakakku yang paling tua. Ya, selama ini aku dekat dengan dia. Kak David orang yang paling mengerti keadaanku, sekalipun dia sudah beristri dan mempunyai dua anak, dia tidak berubah, sosoknya yang hangat namun tegas yang selalu meyakinkanku tentang Kak David.
Berat rasanya kaki – kakiku untuk melangkah menuju kamar, setiap langkah aku meneteskan air mata. Ingin rasanya aku memeluk seseorang dan menangis sejadi – jadinya dalam pelukan orang itu, namun tidak ada seseorangpun. Anak tangga demi anak tangga aku lewati. Ku usap air mataku setelah mataku menatap kamar berpintu biru itu. Suasana kamar menambah kesedihanku. Tangisku pun memuncak saat bola mataku menatap gelang hitam dan merah itu. Ku genggam gelang itu dan menangis sejadi – jadinya. Ingatanku akan orang yang sudah menyelamatkan hidupku dan hampir saja bertaruh nyawa demi aku. Namun, semuanya seolah tak berarti lagi saat diriku menjauh dari dia, mempermainkan dia.
Jo namanya, yang sudah menyelamatkanku dari kecelakaan maut empat bulan yang lalu. Rasa bersalah dan menyesal bercampur aduk dan air mata pun tidak bisa di tahan lagi.
“Bagaimana mungkin aku se-tega itu sama Jo? Jo terlalu baik buatku” pertanyaan yang sangat membuat aku menyesal. Dengan air mata, aku berteriak dalam hati “Jo-Jo, maafin aku!” Mungkin Jo tidak mendengarnya, tapi aku yakin Jo merasakannya dari hatinya. Jo yang selalu buat aku ceria dalam setiap candanya, selalu membuat aku nyaman dalam setiap ketulusannya. Semua tentang Jo tersimpan rapi dalam ingatanku. Mengingat hanya dia setelah Felix tidak disini lagi. Ironis memang, Felix pergi dengan usianya yang masih sangat muda. Kalau saja Felix masih hidup, aku yakin aku takkan bisa berubah dari sifat manjaku dulu. Felix mengubahnya dan ku tahu Felix ingin aku mandiri walau sosoknya mati.
Saat setelah emosiku mereda, dan aku tak lagi menangis seperti tadi, seseorang bertubuh tinggi berkulit putih bersih tidak gemuk tapi tidak juga gemuk sangat proporsional untuk ukuran cowok pada umumnya. Mengangkat tubuhku yang dalam posisi duduk di bawah kasur dengan tangan menelungkup menutup wajahku. Masih terdengar isak tangisku, namun tidak separah tadi. Jari – jarinya yang lembut mengusap air mataku dan akupun memeluknya kemudian menangis dalam pelukannya, persis seperti apa yang tadi aku inginkan. Tanggannya membelai rambutku yang cukup berantakan itu. Setelah beberapa saat menangis dalam pelukan Kak David, tangisku mereda lagi dan dia mulai bertanya “Masih keingat gelang itu?” tanya Kak David dengan lembut. Aku hanya bisa menjawab pelan “Ya.” tanpa diminta aku pun menceritakan ke Kak David tentang hubunganku selama ini dengan Jo.
Saat itu aku dan Jo sperti biasa saling bercanda, aku tak pernah menyangka kalau hari itu mungkin menjadi hari terakhir untukku bercanda dengan Jo atau mungkin berhubungan dengan dia. Seminggu setelah hari terakhir dimana aku dan Jo bercanda, Jo tidak pernah lagi mau membalas smsku atau mengangkat calling-an ku. Merasa di cuekin Jo, aku dengan gusarnya mengirim sms kepada Jo. “Jo, kalau memang kamu gak anggap aku siapa – siapa lagi, oke ! aku turutin maumu. Siapa sih yang gak sakit di cuekin gitu aja.” Kata – kata yang singkat namun aku yakin itu menusuk buat Jo. Namun, tidak sampai di situ saja aku memaki Jo, amarahku meledak saat seseorang cewek ber inisial MO mengirimkan pesan di situs sosial Jo dengan kata – kata yang sangat romantis, seperti ada hubungan khusus antara Jo dan cewek itu. “Pantesan selama ini Jo cuekin aku, karna dia PUNYA GEBETAN BARU ! Bukan masalah cewek itu. Jo udah ngerahasiain tentang hubungannya dan cuekin aku seolah –olah aku hanya angin yang numpang lewat. ARGH !!” Sungguh, emosiku saat itu gak bisa di kontrol semua karena Jo, aku kecewa selama ini Jo bohongin aku. Tanganku yang saat itu memegang ponsel lagsung mengetik pesan singkat untuk Jo “Jo, sekarang aku tau kenapa kamu cuek selama ini. Kamu udah bohongin aku tau gak? Kenapa sih kamu jadi berubah semenjak punya GEBETAN BARU? Pembohong kamu ! Penghianat! Argh, aku BENCI kamu Jo! Nyesel udah percaya sama kamu !” Air mataku menetes saat aku mengirim sms itu ke Jo, antara tega dan gak tega. Tapi gimana lagi? Jo udah bohong, aku benci dia yang sekarang. Tak ada balasan dari Jo. Yah, Jo memang sudah kelewatan. Dan sejak saat itu aku memutuskan untuk tidakk berhubungan lagi dengan dia, sulit rasanya tapi entahlah, apa artinya di banding sakit hatiku.
Air mataku mengalir lagi saat aku menceritakan semua itu ke Kak David. Kak David hanya bisa memelukku dan mengusap air mataku. Lalu dia menyuruhku tidur karena dia tau kondisiku sangat kacau saat itu. Aku membaringkan tubuhku dan berusaha memejamkan mata. Kak David memperbaiki posisi selimutku dan kemudian membisikkan sesuatu “Besok kita jalan – jalan, hanya kita berdua saja” lalu dia pergi dan menutup pintu kamarku. Malam itu menjadi malam panjang karena aku sangat lelah dan ingin sekali rasanya tidak beranjak dari kasurku itu. “Nalaaa! BANGUN !” teriak Keisya. Bocah berumur 5 tahun yang super cerewet itu membangunkanku dengan suaranya yang melengking. “Aku masih ngantuk, pergi aja sana! Main aja sama si Merry atau Glad !” perintahku dengan suara yang masih samar – samar karena mengantuk. Tetapi, awwww sakit. Hidungku di tarik Keisya dengan kukunya yang lumayan tajam. “Kesaaaa! Sakit tau.” teriakku kepada Keisya, bocah usil itu pun berlari keluar dari kamarku padahal kali itu aku sudah siap untuk memakannya. Dia benar – benar nakal! Dengan tangan kiri yang masih memegang hidung, dan jalan yang terseret – seret, aku masuk ke kamar mandi untuk siap – siap mandi. Dinginnya air membuatku membuka mata lebar – lebar. Lalu aku mulai berpakaian, dan kemudian bergegas menuju ruang tamu.
Hari ini kak David mau ajak aku ke suatu tempat, aku tidak tau tempat itu. Dia mengingatkanku untuk membawa Cassey, kamera kesayanganku. Saat bersiap – siap menaiki mobil, tiba – tiba perasaanku sama seperti pertama aku menginjakkan kaki di rumah. Perasaan gundah, dan jantungku berdenyut cepat, sekujur badanku kaku. Namun, itu tak berlangsung lama saat aku tiba di tempat yang David mau. Sebuah tempat yang cukup indah, dimana ada banyak orang berdatangan. Aku tak tau nama tempat itu. “Dulu waktu kakak pacaran, kakak sering kesini” kata Kak David seraya meletakkan kedua tangannya di atas pundakku. Akupun menyipitkan mataku, melihat sekitar. Berharap mendapatkan spot bagus untuk di foto. Aku dan Kak David berkeliling seraya sesekali mengambil gambar untuk proyek fotografiku. “Dek, kakak tinggal sebentar ya, cari minum” “yo, jangan lama – lama kak!” kataku membalas ucapan kakak. Setelah kakak beranjak pergi, aku memutuskan untuk duduk di pinggiran pantai sambil mengambil gambar. Tiba – tiba ponselku berdering, ada panggilan masuk. “Jo? Buat apa dia telpon aku?” tanyaku dalam hati sambil mengerutkan dahi. Tapi calling-an Jo tidak ku angkat. Dan aku meletakkan ponselku di kantong baju. LAlu aku bangkit dan mulai berjalan pelan. Ponselku berdering lagi dan Jo menelpon lagi tetapi tetap saja ku tolak. Itu berlangsung cukup lama dan kemudian Jo mengirimkan pesan “Kamu memakai baju spongebob dan celana pendek warna kuning, membawa kamera di pinggir pantai?” “Darimana Jo tau? Astaga, ini kan tempat kesukaannya dia kalo hang-out? MATI gue !” kataku dalam hati dan akupun menepuk keningku seraya celingukan, memastikan Jo tidak berjalan menuju ke arahku.
Beruntung saat itu Kak David datang dan menyodorkan minuman untukku. Tanpa berfikir panjang, aku segera mengajak Kak David untuk pergi ke tempat lain. Tanpa basa – basipun kak David mengajakku ke tempat lain.
Kali itu aku pergi ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh tapi tidak juga terlalu dekat dengan tempat pertama aku kunjungi. Perasaanku semakin kuat. Badanku berkeringat dan kakiku terasa lemas. Saat aku memutuskan untuk duduk di mobil saja, aku merasa ada yang mengawasiku dari luar. Kak David yang sedang berkeliling mencari spot bagus untuk fotografi, meninggalkanku sendiri di mobil. Tiba – tiba pandanganku tertuju pada seseorang yang memakai kemeja merah, memakai celana jeans selutut dengan membawa motor Jupiter tak jauh dari mobilku, akupun segera turun dari mobil dan bergegas menuju kafe yang berada di seberang jalan. Aku berjalan seolah –olah aku tidak mengetahui orang yang telah mengikutiku. Dia Jo! Kakiku pun melangkah secepat mungkin, rasa kacau dan denyutan jantung yang semakin kencang membuatku tidak fokus. Saat setengah menyeberang, terlihat sebuah sepeda motor melaju cepat. Kakiku rasanya berat untuk melangkah, badankupun lemas, namun seseorang berteriak “AWAS!” dan ‘braaakkk’ aku terlempar ke seberang jalan dan ku lihat seorang cowok tengah sekarat setelah menyelamatkanku, sementara penabrak itu lari. Jo, dia yang menyelamatkanku. Peristiwa itu membuat orang – orang di sekitar berkumpul mengerumuni, aku merangkul kepala Jo yang tengah berdarah dan aku hanya bisa menangis. Kak David yang mendapatiku tidak ada di mobil sergera berlari menuju tempat kecelakaan itu. Segera dia mengangkat Jo dan membawanya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. “Kenapa dia?” tanya Kak David dengan nada cemas. Aku hanya bisa melihat Jo sambil menangis. Dia tidak sadar sama sekali. “Jo, bangun! Jo! Bangun Jo! Maafin aku” rasa menyesal yang teramat sangat membuatku gak bisa berkata apa – apa. Tak butuh waktu lama untuk menuju rumah sakit. Segera Jo di bawa masuk dan di bawa ke ruang UGD. Aku hanya bisa menangis menunggu Jo sambil berdoa aku memohon maaf, waktu itu yang ku harapkan adalah Jo selamat. Dokter keluar dan memberi tau bahwa Jo memerlukan darah secepatnya, karena darahnya banyak keluar saat kecelakaan itu. Mendengar hal itu, sentak Kak David bertambah cemas, dia menyuruhku menelpon keluarganya. Namun aku sama sekali tidak tau. Aku pun mengambil cara untuk mengambil ponsel Jo dari kantong celananya dan menelpon keluarganya.
Dokter memperingati jikalau Jo tidak segera mendapat transfuse darah, dia tidak akan selamat. Aku menangis putus asa saat itu dan muncul pikiran di benakku untuk mendonorkan darahku untuk Jo. Awalnya Kak David menolak permintaanku untuk mendonorkan darah, namun setelah di desak akhirnya Kak David meng-izinkan aku mendonorkan darahku. Aku berusaha melawan rasa takut akan jarum suntik, semua demi Jo.
Aku gak kuat melihat kondisi Jo yang sekarat karena menyelamatkanku dari salahku. Jo yang dulu ku anggap penghianat, bertaruh nyawa demi aku. Kali ini aku mengetahui seberapa tulusnya Jo terhadap aku. Aku berharap darahku bisa menyadarkan Jo dari masa kritisnya.
Setelah koma selama sehari, Jo akhirnya bisa melewati masa kritisnya. Namun dokter mengingatkan agar tidak mengajak dia berbicara. Orangtua Jo yang waktu itu berada di sampingku, tiba – tiba menggenggam tangaku. Mereka mengucapkan terimakasih atas donor darahku. Mereka mengatakan aku menyelamatkan jiwa Jo. Tanpa mereka sadari, Jo-lah yang menyelamatkanku. Darahku tidak berarti apa – apa di bandingkan pengorbanan Jo. Tanpa Jo, mungkin aku tidak bisa menghirup dunia ini lagi. Dan yang harusnya akulah yang berterima kasih. Waktu demi waktu berjalan, sudah 3 hari setelah kecelakaan itu terjadi, akhirnya Jo bisa di ajak bicara. Tak banyak yang ingin ku katakan. Melihat Jo sadar, sudah cukup buatku, melihat Jo tersenyum sudah cukup. “Nar, kamu kok bisa disini?” tanya Jo dengan lembut, aku hanya membalasnya dengan senyuman “Dan kamu kenapa bisa disini?” tanyaku. “Aku habis nyelamatin anak orang, pakai baju spongebob” jawabnya. “Kenapa kamu selamatin? Sementara kamu sendiri celaka?” tanyaku seraya memasang muka cuek. “Habis anak itu baik banget sama aku, ini gak ada apa –apanya di banding kebaikan dia” jawab Jo sambil menatapku. Jawaban barusan membuat aku menangis, sebenarnya aku gak pantas menunjukkan kesedihanku di depan Jo, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dia menatapku dengan rasa bersalah “maafin aku nar, udah buat kamu nangis.” kata Jo dengan memelas. Akupun segera menghapus air mataku dan berhenti menangis. Senyuman ku berikan kepada Jo.
Setelah seminggu berada di rumah sakit, setelah seminggu aku bersama Jo. Dan dalam seminggu itu aku menyadari betapa bodohnya aku, mungkin untuk menjadi seperti Jo adalah hal tersulit buatku. Dan tepat esok hari aku harus kembali ke kotaku. Berat rasanya, untuk pergi meninggalkan Jo, namun semua itu harus ku lakukan. Waktu sehari ini akan ku pergunakan untuk bersama Jo. Kali ini aku mengajak Jo ke tempat dimana aku pernah bertemu dengan dia dan Felix. Manggar, pantai yang begitu indah. Disana aku dan Jo bermain air, saling bercanda dan sesekali saling mengerjai satu sama dengan yang lain. Hingga matahari kembali ke ufuk barat. Aku dan Jo harus berpisah, sbelum aku pergi aku memberikan Jo sebuah gelang dan kemudian berjalan meninggalkan Jo.
Pagi ini aku kembali ke kota asalku, dan pengalaman seminggu bersama Jo adalah hadiah yang pernah di berikan Jo untukku.
Walau Jo tak pernah menyadarinya, darah yang mengalir di tubuhku, kini mengalir juga di tubuh Jo. Saat sakit yang Jo rasakan, kini juga kurasakan. Sampai kapanpun ku harap darahku tetap mengalir di tubuhmu Jo, hingga kita berdua tidak sanggup untuk bertahan.
I’ll be for you Jo. =)
TAMAT
nb: for you Jo, gak peduli cerita ini terjadi atau enggak, yang jelas aku berterima kasih banget buat semuanya. Kenapa harus darah? Karena darah abadi. Akan selalu mengalir di tubuh kita. Dan ku harap itu juga untuk kita, atau siapapun. Akan abadi selamanya dan terus mengalir tanpa henti.
Perjalanan pun di mulai, setelah semua koper dinaikkan ke bagasi mobil. Kali ini kami membawa dua mobil. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 4 setengah jam dari rumahku, yang masih berada satu provinsi dengan kota tujuanku. Deretan pohon – pohon yang rindang dan jalanan yang bergunung membuat pemandangan saat itu begitu indah. Kebahagiaanku memuncak saat mobil sedan merah berjalan lambat melewati pantai yang sangatlah indah. Pantai Manggar namanya. Dimana aku pernah bertemu dengan dua orang spesial di pantai itu. Michael dan Jo. Air mata pun tak bisa di bendung lagi, perlahan dan perlahan air mataku menetes di pipiku. Namun segera ku usap dengan syal yang melingkar di leherku. Dan seketika aku teringat akan sebuah gelang hitam dan merah yang tak pernah ku pakai lagi. Aku merogoh kantong celanaku, dan mendapati gelang itu. Cukup lama aku tak memakai gelang itu dengan suatu alasan yang tak pasti.
Perjalanan panjang terhenti ketika dua mobil berhenti di depan pagar tinggi berwarna cokelat keemasan. Dimana seorang laki – laki paruh baya membuka pagar itu. Di sambut dengan dua orang perempuan yang membawa koper kami. Sebenarnya koperku tidaklah berat. “Gak usah non Nara, biar mbak aja yang bawa” kata Mbak Evi saat melihat aku membawa koperku sendiri. Akan sangat kelewatan kalau aku membiarkan Mbak Evi membawa koperku yang tidak berat sama sekali. Dan Mbak Evi pun mengalah, ia membiarkan aku membawa koperku sendiri. Saat kakiku melangkah dan kemudian menginjakkan kaki tepat di atas teras rumahku, sesuatu terasa berat dalam hatiku. Jantungku mulai berdegup kencang. “Something will happen here, i believe that” bisikku dalam hati. Berfikir akan tertadi sesuatu, cepat atau lambat.
Suasana berbeda kurasakan saat papa, mama, kakak – kakak dan adik kecilku bersama denganku di rumah yang satu ini. Kehangatan keluarga aku rasakan setelah lama ini semua sibuk dengan pekerjaannya. Papa yang hampir setiap saat lembur bekerja. Canda tawa di iringi tangisan Merry dan Glad, si kembar yang baru beranjak satu tahun ini.
Perlu seluruh tenaga untuk melahirkan mereka berdua ke dunia, mengingat kondisi kakak iparku yang sangat kelelahan saat melahirkan mereka berdua.
Itulah alasan mengapa aku ikut memberi mereka nama, Merry dan Glad, karena mereka membawa kebahagiaan buat keluargaku. Terutama mamaku yang pengen sekali menggendong adik bayi. Saat sedang asik bercanda, terdengar bisik yang mengarah ke telingaku “apa mata kakak yang salah lihat atau memang tadi ada yang menangis di mobil?” suaranya begitu halus namun jelas terdengar oleh telingaku. Mataku mulai berkaca – kaca mengingat hal tadi sewaktu melewati Pantai Manggar. “Tak apa kak” balasaku dengan nada lirih. Saat hendak meninggalkan keluargaku di ruang tamu, belum sempat aku mengangkat seluruh badanku dari atas sofa, sebuah tangan yang halus mencengkram tanganku, seakan ingin menanyakan kemana aku mau pergi. “Aku butuh istirahat sebentar kak, aku akan ke atas” bisikku pelan kepada kakakku yang mencengkram tanganku. Cengkraman itu dilepaskan dan aku beranjak pergi ke kamarku. “Mau kemana dek?” tanya Nika kakakku yang perempuan. “Dia butuh istirahat Nik, biarin dia tidur” jawab David kakakku yang paling tua. Ya, selama ini aku dekat dengan dia. Kak David orang yang paling mengerti keadaanku, sekalipun dia sudah beristri dan mempunyai dua anak, dia tidak berubah, sosoknya yang hangat namun tegas yang selalu meyakinkanku tentang Kak David.
Berat rasanya kaki – kakiku untuk melangkah menuju kamar, setiap langkah aku meneteskan air mata. Ingin rasanya aku memeluk seseorang dan menangis sejadi – jadinya dalam pelukan orang itu, namun tidak ada seseorangpun. Anak tangga demi anak tangga aku lewati. Ku usap air mataku setelah mataku menatap kamar berpintu biru itu. Suasana kamar menambah kesedihanku. Tangisku pun memuncak saat bola mataku menatap gelang hitam dan merah itu. Ku genggam gelang itu dan menangis sejadi – jadinya. Ingatanku akan orang yang sudah menyelamatkan hidupku dan hampir saja bertaruh nyawa demi aku. Namun, semuanya seolah tak berarti lagi saat diriku menjauh dari dia, mempermainkan dia.
Jo namanya, yang sudah menyelamatkanku dari kecelakaan maut empat bulan yang lalu. Rasa bersalah dan menyesal bercampur aduk dan air mata pun tidak bisa di tahan lagi.
“Bagaimana mungkin aku se-tega itu sama Jo? Jo terlalu baik buatku” pertanyaan yang sangat membuat aku menyesal. Dengan air mata, aku berteriak dalam hati “Jo-Jo, maafin aku!” Mungkin Jo tidak mendengarnya, tapi aku yakin Jo merasakannya dari hatinya. Jo yang selalu buat aku ceria dalam setiap candanya, selalu membuat aku nyaman dalam setiap ketulusannya. Semua tentang Jo tersimpan rapi dalam ingatanku. Mengingat hanya dia setelah Felix tidak disini lagi. Ironis memang, Felix pergi dengan usianya yang masih sangat muda. Kalau saja Felix masih hidup, aku yakin aku takkan bisa berubah dari sifat manjaku dulu. Felix mengubahnya dan ku tahu Felix ingin aku mandiri walau sosoknya mati.
Saat setelah emosiku mereda, dan aku tak lagi menangis seperti tadi, seseorang bertubuh tinggi berkulit putih bersih tidak gemuk tapi tidak juga gemuk sangat proporsional untuk ukuran cowok pada umumnya. Mengangkat tubuhku yang dalam posisi duduk di bawah kasur dengan tangan menelungkup menutup wajahku. Masih terdengar isak tangisku, namun tidak separah tadi. Jari – jarinya yang lembut mengusap air mataku dan akupun memeluknya kemudian menangis dalam pelukannya, persis seperti apa yang tadi aku inginkan. Tanggannya membelai rambutku yang cukup berantakan itu. Setelah beberapa saat menangis dalam pelukan Kak David, tangisku mereda lagi dan dia mulai bertanya “Masih keingat gelang itu?” tanya Kak David dengan lembut. Aku hanya bisa menjawab pelan “Ya.” tanpa diminta aku pun menceritakan ke Kak David tentang hubunganku selama ini dengan Jo.
Saat itu aku dan Jo sperti biasa saling bercanda, aku tak pernah menyangka kalau hari itu mungkin menjadi hari terakhir untukku bercanda dengan Jo atau mungkin berhubungan dengan dia. Seminggu setelah hari terakhir dimana aku dan Jo bercanda, Jo tidak pernah lagi mau membalas smsku atau mengangkat calling-an ku. Merasa di cuekin Jo, aku dengan gusarnya mengirim sms kepada Jo. “Jo, kalau memang kamu gak anggap aku siapa – siapa lagi, oke ! aku turutin maumu. Siapa sih yang gak sakit di cuekin gitu aja.” Kata – kata yang singkat namun aku yakin itu menusuk buat Jo. Namun, tidak sampai di situ saja aku memaki Jo, amarahku meledak saat seseorang cewek ber inisial MO mengirimkan pesan di situs sosial Jo dengan kata – kata yang sangat romantis, seperti ada hubungan khusus antara Jo dan cewek itu. “Pantesan selama ini Jo cuekin aku, karna dia PUNYA GEBETAN BARU ! Bukan masalah cewek itu. Jo udah ngerahasiain tentang hubungannya dan cuekin aku seolah –olah aku hanya angin yang numpang lewat. ARGH !!” Sungguh, emosiku saat itu gak bisa di kontrol semua karena Jo, aku kecewa selama ini Jo bohongin aku. Tanganku yang saat itu memegang ponsel lagsung mengetik pesan singkat untuk Jo “Jo, sekarang aku tau kenapa kamu cuek selama ini. Kamu udah bohongin aku tau gak? Kenapa sih kamu jadi berubah semenjak punya GEBETAN BARU? Pembohong kamu ! Penghianat! Argh, aku BENCI kamu Jo! Nyesel udah percaya sama kamu !” Air mataku menetes saat aku mengirim sms itu ke Jo, antara tega dan gak tega. Tapi gimana lagi? Jo udah bohong, aku benci dia yang sekarang. Tak ada balasan dari Jo. Yah, Jo memang sudah kelewatan. Dan sejak saat itu aku memutuskan untuk tidakk berhubungan lagi dengan dia, sulit rasanya tapi entahlah, apa artinya di banding sakit hatiku.
Air mataku mengalir lagi saat aku menceritakan semua itu ke Kak David. Kak David hanya bisa memelukku dan mengusap air mataku. Lalu dia menyuruhku tidur karena dia tau kondisiku sangat kacau saat itu. Aku membaringkan tubuhku dan berusaha memejamkan mata. Kak David memperbaiki posisi selimutku dan kemudian membisikkan sesuatu “Besok kita jalan – jalan, hanya kita berdua saja” lalu dia pergi dan menutup pintu kamarku. Malam itu menjadi malam panjang karena aku sangat lelah dan ingin sekali rasanya tidak beranjak dari kasurku itu. “Nalaaa! BANGUN !” teriak Keisya. Bocah berumur 5 tahun yang super cerewet itu membangunkanku dengan suaranya yang melengking. “Aku masih ngantuk, pergi aja sana! Main aja sama si Merry atau Glad !” perintahku dengan suara yang masih samar – samar karena mengantuk. Tetapi, awwww sakit. Hidungku di tarik Keisya dengan kukunya yang lumayan tajam. “Kesaaaa! Sakit tau.” teriakku kepada Keisya, bocah usil itu pun berlari keluar dari kamarku padahal kali itu aku sudah siap untuk memakannya. Dia benar – benar nakal! Dengan tangan kiri yang masih memegang hidung, dan jalan yang terseret – seret, aku masuk ke kamar mandi untuk siap – siap mandi. Dinginnya air membuatku membuka mata lebar – lebar. Lalu aku mulai berpakaian, dan kemudian bergegas menuju ruang tamu.
Hari ini kak David mau ajak aku ke suatu tempat, aku tidak tau tempat itu. Dia mengingatkanku untuk membawa Cassey, kamera kesayanganku. Saat bersiap – siap menaiki mobil, tiba – tiba perasaanku sama seperti pertama aku menginjakkan kaki di rumah. Perasaan gundah, dan jantungku berdenyut cepat, sekujur badanku kaku. Namun, itu tak berlangsung lama saat aku tiba di tempat yang David mau. Sebuah tempat yang cukup indah, dimana ada banyak orang berdatangan. Aku tak tau nama tempat itu. “Dulu waktu kakak pacaran, kakak sering kesini” kata Kak David seraya meletakkan kedua tangannya di atas pundakku. Akupun menyipitkan mataku, melihat sekitar. Berharap mendapatkan spot bagus untuk di foto. Aku dan Kak David berkeliling seraya sesekali mengambil gambar untuk proyek fotografiku. “Dek, kakak tinggal sebentar ya, cari minum” “yo, jangan lama – lama kak!” kataku membalas ucapan kakak. Setelah kakak beranjak pergi, aku memutuskan untuk duduk di pinggiran pantai sambil mengambil gambar. Tiba – tiba ponselku berdering, ada panggilan masuk. “Jo? Buat apa dia telpon aku?” tanyaku dalam hati sambil mengerutkan dahi. Tapi calling-an Jo tidak ku angkat. Dan aku meletakkan ponselku di kantong baju. LAlu aku bangkit dan mulai berjalan pelan. Ponselku berdering lagi dan Jo menelpon lagi tetapi tetap saja ku tolak. Itu berlangsung cukup lama dan kemudian Jo mengirimkan pesan “Kamu memakai baju spongebob dan celana pendek warna kuning, membawa kamera di pinggir pantai?” “Darimana Jo tau? Astaga, ini kan tempat kesukaannya dia kalo hang-out? MATI gue !” kataku dalam hati dan akupun menepuk keningku seraya celingukan, memastikan Jo tidak berjalan menuju ke arahku.
Beruntung saat itu Kak David datang dan menyodorkan minuman untukku. Tanpa berfikir panjang, aku segera mengajak Kak David untuk pergi ke tempat lain. Tanpa basa – basipun kak David mengajakku ke tempat lain.
Kali itu aku pergi ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh tapi tidak juga terlalu dekat dengan tempat pertama aku kunjungi. Perasaanku semakin kuat. Badanku berkeringat dan kakiku terasa lemas. Saat aku memutuskan untuk duduk di mobil saja, aku merasa ada yang mengawasiku dari luar. Kak David yang sedang berkeliling mencari spot bagus untuk fotografi, meninggalkanku sendiri di mobil. Tiba – tiba pandanganku tertuju pada seseorang yang memakai kemeja merah, memakai celana jeans selutut dengan membawa motor Jupiter tak jauh dari mobilku, akupun segera turun dari mobil dan bergegas menuju kafe yang berada di seberang jalan. Aku berjalan seolah –olah aku tidak mengetahui orang yang telah mengikutiku. Dia Jo! Kakiku pun melangkah secepat mungkin, rasa kacau dan denyutan jantung yang semakin kencang membuatku tidak fokus. Saat setengah menyeberang, terlihat sebuah sepeda motor melaju cepat. Kakiku rasanya berat untuk melangkah, badankupun lemas, namun seseorang berteriak “AWAS!” dan ‘braaakkk’ aku terlempar ke seberang jalan dan ku lihat seorang cowok tengah sekarat setelah menyelamatkanku, sementara penabrak itu lari. Jo, dia yang menyelamatkanku. Peristiwa itu membuat orang – orang di sekitar berkumpul mengerumuni, aku merangkul kepala Jo yang tengah berdarah dan aku hanya bisa menangis. Kak David yang mendapatiku tidak ada di mobil sergera berlari menuju tempat kecelakaan itu. Segera dia mengangkat Jo dan membawanya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. “Kenapa dia?” tanya Kak David dengan nada cemas. Aku hanya bisa melihat Jo sambil menangis. Dia tidak sadar sama sekali. “Jo, bangun! Jo! Bangun Jo! Maafin aku” rasa menyesal yang teramat sangat membuatku gak bisa berkata apa – apa. Tak butuh waktu lama untuk menuju rumah sakit. Segera Jo di bawa masuk dan di bawa ke ruang UGD. Aku hanya bisa menangis menunggu Jo sambil berdoa aku memohon maaf, waktu itu yang ku harapkan adalah Jo selamat. Dokter keluar dan memberi tau bahwa Jo memerlukan darah secepatnya, karena darahnya banyak keluar saat kecelakaan itu. Mendengar hal itu, sentak Kak David bertambah cemas, dia menyuruhku menelpon keluarganya. Namun aku sama sekali tidak tau. Aku pun mengambil cara untuk mengambil ponsel Jo dari kantong celananya dan menelpon keluarganya.
Dokter memperingati jikalau Jo tidak segera mendapat transfuse darah, dia tidak akan selamat. Aku menangis putus asa saat itu dan muncul pikiran di benakku untuk mendonorkan darahku untuk Jo. Awalnya Kak David menolak permintaanku untuk mendonorkan darah, namun setelah di desak akhirnya Kak David meng-izinkan aku mendonorkan darahku. Aku berusaha melawan rasa takut akan jarum suntik, semua demi Jo.
Aku gak kuat melihat kondisi Jo yang sekarat karena menyelamatkanku dari salahku. Jo yang dulu ku anggap penghianat, bertaruh nyawa demi aku. Kali ini aku mengetahui seberapa tulusnya Jo terhadap aku. Aku berharap darahku bisa menyadarkan Jo dari masa kritisnya.
Setelah koma selama sehari, Jo akhirnya bisa melewati masa kritisnya. Namun dokter mengingatkan agar tidak mengajak dia berbicara. Orangtua Jo yang waktu itu berada di sampingku, tiba – tiba menggenggam tangaku. Mereka mengucapkan terimakasih atas donor darahku. Mereka mengatakan aku menyelamatkan jiwa Jo. Tanpa mereka sadari, Jo-lah yang menyelamatkanku. Darahku tidak berarti apa – apa di bandingkan pengorbanan Jo. Tanpa Jo, mungkin aku tidak bisa menghirup dunia ini lagi. Dan yang harusnya akulah yang berterima kasih. Waktu demi waktu berjalan, sudah 3 hari setelah kecelakaan itu terjadi, akhirnya Jo bisa di ajak bicara. Tak banyak yang ingin ku katakan. Melihat Jo sadar, sudah cukup buatku, melihat Jo tersenyum sudah cukup. “Nar, kamu kok bisa disini?” tanya Jo dengan lembut, aku hanya membalasnya dengan senyuman “Dan kamu kenapa bisa disini?” tanyaku. “Aku habis nyelamatin anak orang, pakai baju spongebob” jawabnya. “Kenapa kamu selamatin? Sementara kamu sendiri celaka?” tanyaku seraya memasang muka cuek. “Habis anak itu baik banget sama aku, ini gak ada apa –apanya di banding kebaikan dia” jawab Jo sambil menatapku. Jawaban barusan membuat aku menangis, sebenarnya aku gak pantas menunjukkan kesedihanku di depan Jo, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dia menatapku dengan rasa bersalah “maafin aku nar, udah buat kamu nangis.” kata Jo dengan memelas. Akupun segera menghapus air mataku dan berhenti menangis. Senyuman ku berikan kepada Jo.
Setelah seminggu berada di rumah sakit, setelah seminggu aku bersama Jo. Dan dalam seminggu itu aku menyadari betapa bodohnya aku, mungkin untuk menjadi seperti Jo adalah hal tersulit buatku. Dan tepat esok hari aku harus kembali ke kotaku. Berat rasanya, untuk pergi meninggalkan Jo, namun semua itu harus ku lakukan. Waktu sehari ini akan ku pergunakan untuk bersama Jo. Kali ini aku mengajak Jo ke tempat dimana aku pernah bertemu dengan dia dan Felix. Manggar, pantai yang begitu indah. Disana aku dan Jo bermain air, saling bercanda dan sesekali saling mengerjai satu sama dengan yang lain. Hingga matahari kembali ke ufuk barat. Aku dan Jo harus berpisah, sbelum aku pergi aku memberikan Jo sebuah gelang dan kemudian berjalan meninggalkan Jo.
Pagi ini aku kembali ke kota asalku, dan pengalaman seminggu bersama Jo adalah hadiah yang pernah di berikan Jo untukku.
Walau Jo tak pernah menyadarinya, darah yang mengalir di tubuhku, kini mengalir juga di tubuh Jo. Saat sakit yang Jo rasakan, kini juga kurasakan. Sampai kapanpun ku harap darahku tetap mengalir di tubuhmu Jo, hingga kita berdua tidak sanggup untuk bertahan.
I’ll be for you Jo. =)
TAMAT
nb: for you Jo, gak peduli cerita ini terjadi atau enggak, yang jelas aku berterima kasih banget buat semuanya. Kenapa harus darah? Karena darah abadi. Akan selalu mengalir di tubuh kita. Dan ku harap itu juga untuk kita, atau siapapun. Akan abadi selamanya dan terus mengalir tanpa henti.
0 Response to "“Ter-istimewa untuk JO”"
Posting Komentar