JEANNE BENNEDICT
Pagi – pagi buta aku udah bangun dan siap – siap, semua baju udah aku tata rapi dalam tas koperku mungkin cukup untuk sebulan. Untung saja aku sudah memegang ATM. Walaupun tidak cukup banyak, aku harap ini cukup buat biaya makan, dan sewa kamar di kost – kostan. Soal transport bisa dipikirkan nanti, bisa jalan kaki. Setelah semua sudah beres, aku menyempatkan mencium Sonia dan mengucapkan selamat tinggal “bye sayang, tidur yang nyenyak. Kakak minta maaf gak bisa bawa kamu juga sayang, tapi kakak janji gak ninggalin kamu lama – lama” tanpa aku sadari seolah mendengar suaraku, tangan mungil Sonia menggenggam erat jari telunjukku. Dengan berat aku melepaskannya dan mengusap air mataku yang menetes di pipi Sonia, mungkin saat aku menangis, air mataku jatuh di pipinya yang chubby. Dan akupun berlalu darinya. Berat rasanya, tetapi ini keputusanku. Aku akan pergi sampai orangtuaku kembali akur atau benar – benar berpisah, sulit memayangkan Sonia yang masih kecil harus kehilangan orangtua yang lengkap.
Sebelum aku pergi aku meletakkan sepucuk surat di bawah pintu kamar Sonia. Berharap orangtuaku membacanya, tetapi kalaupun tidak, tak akan menjadi masalah karna itulah mereka, tidak pernah peduli akan apapun. Bagai kaki seorang petualang, aku meringankan kakiku menuju tempat yang bisa menyembunyikanku sementara dan membuat hidupku sedikit lebih bermakna. Mungkin aku takkan aman jika tetap berada di kotaku, mereka akan mudah mencariku. Jadi aku memutuskan untuk pergi keluar kota dengan bis dapat ditempuh kurang lebih 6 jam dari kotaku. Aku telah menyiapkan uang saku, mengingat terbatasnya mesin ATM. Perjalanan meninggalkan kotaku terasa begitu nyaman. Semakin jauh aku meninggalkan, semakin aku lupa dengan masalah yang membuatku lari dari kotaku. Atau mungkin itu karena mp3 yang memutar lagu kesukaanku “I’d Lie” ? Mungkin tidak ada hubungannya dengan masalahku. Namun lagu itu yang selama ini membuat aku semangat, meski masih berbau romantika tetapi aku merasa bisa semangat jika mendengarkannya.
6 jam perjalanan aku tempuh, akhirnya aku tiba di kota dimana banyak kenangan semasa aku kecil dahulu. Ya, meskipun bukan kota kelahiranku, tetapi aku dibesarkan di kota ini. Dengan semangat aku turun dari bis kemudian mengambil koperku dan mulai berpikir dimana aku akan tinggal seraya berjalan, berjalan tanpa arah kalau orang – orang katakan. Aku dapat melepas rindu ketika aku melihat beberapa bangunan dan mall yang merupakan bangunan atau mall terkenal di kota ini. Langkahku yang semakin tidak jelas sebenarnya cukup membuat aku bingung, dan aku memutuskan untuk pergi menuju gereja terdekat untuk sekedar menitip koper dan beberapa barang berharga milikku. Aku berniat untuk mencuci mata sebentar di salah satu mall terdekat, beruntung saja penjaga gereja bersedia menjaga koperku. Dan akupun bisa berjalan sesukaku tanpa ada seseorang yang melarang atau membatasiku. Di mall aku melihat berbagai macam orang – orang, tetapi mayoritas adalah cina. Meskipun ini daerah Kalimantan, tetap saja pendatang atau keturunan dari cinta mendominasi kota ini. Lalu aku melihat beberapa anak muda sedang asik jalan berdua, ya mungkin mereka menganggap mall ini adalah dunia mereka berdua. Namun sesuatu sangat menggangguku ketika aku melihat seorang ibu menggandeng seorang anak dan suaminya menggendong anaknya yang satu. Sangat harmonis dan menusuk perasaan. Lalu aku memutuskan untuk pergi dan mencari tempat lain.
Kakiku mengantarkanku menyusuri setiap sisi di pinggir jalan. Mengantarkanku untuk mendekati sumber suara yang sangat meriah. Seperti ada festival band remaja, dan suara teriakan penonton menarikku untuk datang mendekat dan menonton. Saat aku tiba di tempat dimana festival band diadakan, saat itu sebuah band telah selesai beradu panggung dengan band satunya. “Kolaborasi band, sial aku gak sempat nonton” umpatku. Namun seseorang wanita yang mungkin sebaya denganku tidak sengaja mendengar dan kemudian membalas umpatanku tadi “tenang aja, habis ini ada band yang lumayan bagus juga kok, palingan bentar lagi cewek – cewek di pojok sana (sambil menunjuk sekumpulan cewek – cewek yang berada di sebelah timur) akan berteriak seperti histeris atau semacamnya lah” jawabnya. Aku berpikir sejenak lalu mengangguk, memberikan respon agar orang itu tahu bahwa aku mendengarkannya berbicara. Lalu aku menjawab “Seberapa keren anak band itu? Atau mereka anak orang – orang kaya di kota ini?” tanyaku penasaran. “ya, mungkin mereka sedikit keren, tapi bukannya kalau main band bukan tampang aja yang di jual? Bermusiknya juga harus meyakinkan. Aku tidak suka melihat mereka teriak histeris seperti itu” balas perempuan itu. Aku tak membalas ucapannya, hanya mengerutkan kening lalu aku bergumam di dalam hati “wanita ini sama seperti aku, tidak menyukai wanita – wanita itu”. Tak lama setelah aku bergumam pekikan cewek – cewek itu langsung memenuhi bagian timur barisan penonton. Band itu terdiri dari 5 cowok – cowok yang menurutku tidak seperti anak gedongan yang “wah”, meski begitu penampilan mereka cukup casual, tetapi begitu aku melihat seseorang dari anggota band itu, aku langsung bergegas pergi karena aku mengenal orang itu. Dulu, aku ingin sekali bertemu dengannya, namun tidak untuk sekarang. “Aku minggat! Bukan untuk kangen – kangenan! Lagipula dia mungkin sudah tidak ingat denganku. Fans cewek – cewek itu lebih berharga kok!” aku terus meyakinkan diriku untuk tidak tetap berdiri dan menunggu dia melihatku lalu menegurku dan mengajakku jalan atau apalah sebagainya. Mungkin aku akan terbang jika itu terjadi. Semua akan sia – sia.
Lalu aku melanjutkan perjalananku dengan kaki yang tak pernah lelah. Ketika aku masih memikirkan anak band itu tiba – tiba aku mendengar suara tabrakan yang keras. Akupun langsung berlari menuju kerumumunan orang itu lalu aku melihat seorang wanita yang tergeletak dan kepalanya berlumuran darah. Setelah ku perhatikan dengan seksama, ternyata aku mengenal wanita itu. Dia kakak dari anak band itu. Tanpa pikir panjang, aku merangkul wanita itu, bernama Sarah. Lalu seorang bapak yang berdiri di sampingku bertanya, “mbak siapanya ya?” sontak aku bingung lalu aku menjawab “saya adiknya om, boleh minta tolong carikan taksi lalu angkat kakak saya. Saya akan mengantarkannya kerumah sakit” Lalu beberapa pemuda mencarikan taksi lalu mengangkat Kak Sarah dengan hati – hati lalu menyuruh supir taksi mebawaku ke rumah sakit terdekat. Di dalam taksi aku hampir menitikkan air mata. Bukan karena sedih melainkan aku takut darah, sementara Kak Sarah berlumuran darah dan darahnya menetes sampai ke bajuku. Sesampainya di rumah sakit, dua orang petugas mengangkat Kak Sarah lalu membawanya ke UGD. Aku ingin sekali masuk namun dokter tidak memperbolehkanku masuk. Aku yang panik kemudian menatap tajam tas Kak Sarah, berharap dia meletakkan hpnya di dalam tas dan aku bisa menghubungi kedua orang tuanya. Sebenarnya aku bisa menghubungi adiknya yang sedang ikut festival band, namun aku takkan berniat untuk membawanya dalam kejadian ini. Setelah mengutak – atik hpnya, akhirnya aku menemukan nomor telepon rumah Kak Sarah, dengan gemetar perasaan yang bercampur aduk antara takut karena mereka mungkin akan mengira aku yang menabraknya dan cemas karena nyawa seseorang, terlebih itu nyawa kakak perempuan anak band itu. Ya anak band itu Denis Bennedict.
Ben, sahabat yang sudah lama aku kenal. Aku tak pernah lagi menghubunginya, seperti dulu aku selalu menghubunginya entah lewat sms, telpon atau di situs sosial. Ben mungkin terlarut dengan kehidupannya yang sangat sibuk, dan aku memutuskan untuk tidak berperan lagi dalam hidupnya. Namun ini masalah yang kompleks, pertama aku hanya membawa uang yang terbatas sementara aku harus menebus biaya perawatan Kak Sarah, mau tak mau aku Jeanne bukanlah pengecut yang membiarkan tanggung jawab begitu saja. Aku harus membayarnya dan mungkin merawat kak Sarah jika orang tuanya tidak berada disini. Tak lama kemudian di seberang sana ada seseorang wanita yang mengangkat telponku. “Halo, dengan siapa?”. Begitu mendengar suara itu, jantungku beradu dan semakin kencang dan akupun berbicara dengan terbata – bata “Ha-ha-lo, i-ini rumah Kak Sa-sa-rah?” terdengar balasan dari sana “Ya benar, ini siapa ya?” “Maaf sebelumnya, saya Jeanne, Kak Sarah sedang di rumah sakit sekarang. Bisa datang sekarang? Kami di rumah sakit di dekat kantor walikota” “Ya, tunggu disana saya akan kesana” lalu wanita itu menutup telpon. Lalu aku berjalan menuju bagian administrasi lalu melunasi biaya Kak Sarah, meski tak lazim tetapi aku ikhlas membayarnya. Aku mempunyai alasan yang jelas soal itu.
Kemudian aku berjalan menuju ruang dimana Kak Sarah sekarang sedang beristirahat, mungkin dia masih trauma setelah kecelakaan yang mungkin saja merenggut nyawanya saat itu. Aku ragu untuk masuk namun aku memberanikan diri. Aku membuka pintu kamar rawat dan kemudian duduk di samping ranjang Kak Sarah lalu aku memegang tangan kak Sarah lalu Kak Sarah kaget melihatku berada di sampingnya. Lalu dia menangis mengucapkan terimakasih kepadaku. “Makasih Jeanne sayang. Tapi gimana kamu bisa tau kakak kecelakaan? Gimana caranya kamu bisa sampai disini?” Aku tersenyum kecil kemudian membalas “Aku sedang jalan – jalan ketika kakak kecelakaan, aku hanya bilang kalau kakak adalah kakak kandungku lalu orang – orang mencarikan taksi kemudian kakak ada disini. Aku sudah telpon ke rumah, dan mungkin sebentar lagi mereka datang” jawabku pelan. Lalu kak Sarah mebalas “Kan kamu bisa hubungi Ben, jadi kamu gak perlu capek – capek bawa kakak kesini” Aku bingung antara senyum atau menangis. Karena jujur saja walaupun aku mengatakan aku tidak ingin bertemu Ben, aku masih sangat merindukannya. “Hah, itu berkhayal namanya Jen” gumamku. Lalu tak berapa lama keluarga Kak Sarah datang. Semua kaget melihat Kak Sarah yang kepalanya di perban. Begitu juga dengan Ben, hanya saja dia kaget melihatku yang ada di samping Kak Sarah. Lalu aku keluar dan membiarkan Kak Sarah menceritakan apa yang terjadi. Saat aku duduk di taman depan rumah sakit itu. Sambil mengingat lagi apa tujuanku kesini dan bagaimana kabar Sonia dirumah. Tak lama setelah itu tiba – tiba seorang lelaki datang menghampiriku lalu duduk disampingku. Terdengar suara “Kenapa kamu tadi pergi pas bandku tampil?” Ben mengawali pembicaraan. “Aku? Aku kesini bukan untuk senang – senang. Maaf, aku harus pergi” saat aku bergegas pergi Ben melarangku dan kemudian kembali bertanya “Kenapa kamu tolong kakakku, tapi kamu benci aku?” kemudian aku kembali duduk di sampingnya lalu menjawab pertanyaannya “Karna ketika aku memutuskan untuk menyayangi seseorang, aku harus menyayangi keluarganya juga” Kemudian Ben berdiri dan menarikku menuju motornya dan kemudian mengajakku ke suatu tempat. Motornya melaju menuju ke sebuah pantai. Lalu dia mengajakku turun dan kemudian aku memandang pantai itu kemudian aku menangis mengingat semua penderitaanku di rumah dan kemudian aku tertunduk, saat itu juga Ben mengatakan “Laut yang di depan itu tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan sayangmu sama aku. Aku minta maaf karena aku terlambat mengatakan ini” Kemudian Ben mengambil sebuah tongkat kayu dan kemudian menuliskan sesuatu di atas pasir “I LOVE U JEANNE” aku yang melihat itu kemudian menangis, terharu kemudian Ben mengantarkanku kembali ke rumah sakit.
Saat berada di rumah sakit, orang tua Ben ingin mengantarkanku ke rumah dimana aku tinggal selama berada di kota ini, namun aku menggeleng. Aku emngatakan aku kesini sendirian dan aku belum mendapatkan penginapan atau hotel. Lalu keluarga Ben menawariku untuk tinggal smentara di rumahnya. Awalnya aku menolak, namun Ben dan Kak Sarah memaksaku dan kemudian mereka mengembalikan uang yang aku gunakan untuk menebus biaya perawatan Kak Sarah. Saat menjadi bagian dari keluarga Ben, aku merasakan apa yang tidak pernah lagi ku rasakan akhir – akhir ini. Aku memutuskan memberitahu penyebab aku lari dari rumah dan kemudian orangtua Ben membicarakannya dengan orangtuaku tanpa sepengetahuanku. Selama seminggu akhirnya orangtuaku menjemputku di rumah Ben dan kemudian mereka minta maaf dan kemudian berjanji membawaku ke suasana rumah yang damai lagi. Aku berterimakasih kepada keluarga baruku, terutama untuk Ben. “Thanks for all you’ve done for me ya J love you” Ben membalas dengan senyum lalu mengirimkanku sms “Thanks for every tears and happiness for me too ya J Love you too”